KAMPUS MENGAJAR, PELUANG DAN ANCAMAN

Published by TeacherCreativeCorner on

Program Kampus Mengajar

Kabar tentang Kampus Mengajar adalah kabar gembira bagi adik-adik mahasiswa, karena akan mendapatkan kesempatan bebas UKT dan kesempatan memperolah uang saku sebesar Rp 700.000 per bulan. Kemdikbud terus berinovasi, terutama di masa Pandemi Covid-19 ini, yaitu dengan diluncurkannya Program Kampus Mengajar. Menurut Panduan Program Kampus Mengajar ini, bertujuan untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa belajar mengembangkan diri di luar perkuliahan. Program Kampus Mengajar ini akan menempatkan mahasiswa dari segala jurusan untuk mengajar di sekolah dasar di seluruh Indonesia. Mereka akan mendapatkan tugas membantu guru-guru SD membelajarkan peserta didik jenjang SD pada masa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini dengan berbekal pembekalan awal.

Adapun materi minimal yang harus dikuasai peserta Kampus Mengajar adalah: 1) Pedagogi Sekolah Dasar; 2) Pembelajaran Literasi dan Numerasi; 3) Etika dan Komunikasi; 4) Aplikasi MBKM (Merdeka Belajar-Kampus Merdeka); dan 5) Profil Pelajar Pancasila. Fokus materi dari kelima matari tersebut adalah : 1) Konsep Pembelajaran Jarak Jauh, Strategi Kreatif belajar Luring dan Daring; 2) Aplikasi Asesemen dalam Pembelajaran; 3) Mahasiswa sebagai Duta Perubahan Perilaku di Masa Pandemi; 4) Prinsip Perlindungan Anak (Child Protection).

Trobosan kemdikbud ini merupakan upaya yang dilakukan Mas Mentri Nadiem Makarim untuk melakukan lompatan-lompatan seperti yang sering beliau kemukakan akhir-akhir ini. Dampak jangka panjang dari program ini adalah percepatan transformasi mental perubahan yang akan di bawa secara langsung oleh para mahasiswa. Dimana seluruh mahasiswa merupakan lapisan generasi milenial, yang menurut persepektif Nadeim Makarim merupakan generasi yang lebih tahu tentang kondisi masa depan. Hal ini sangat relevan dalam bagaimana tujuan pemerintah mengupayakan pendidikan yang mengarah ke penciptaan generasi yang adaptif dengan perubahan menyongsong era digitalisasi 4.0. Jika saja hal di atas dilaksanaksn secara konsisten dan berkelanjutan maka tak ayal lagi prediksi bahwa di tahun 2025, Indonesia akan menapaki zaman Indonesia emas.

Tapi sebentar, jangan bergembira dulu, ada sebuah tantangan yang sangat nyata di depan kita, para kalangan guru yang telah eksis di dunia pendidikan. Dengan hadirnya gelombang generasi milenial yang masif memasuki dunia pendidikan dimana posisi guru senior tersebut sekarang?  Inilah tanatngannya nyatanya.

Kata manis yang disampaikan dalam panduan itu “Membantu guru-guru dalam melaksanakan pembelajaran di masa Pandemi Covid-19” merupakan ancaman nyata sesungguhnya bagi profesi guru yang telah eksis. Bukan permasalahan berapa lama masa waktu pembekalan yang diberikan kepada calon guru relawan dari Kampus Mengajar tersebut yang menjadi masalah. Karena generasi mahasiswa saat ini yang ditarget, telah terbiasa dengan dunia digital. Sudah dapat dipastikan waktu belajar seminggupun mereka pasti dapat memahami konsep dasarnya.

Permasalahan terbesar adalah terletak di kita. Sanggupkah kita sebagai praktisi pendidikan yang telah eksis mengikuti langkah para calon guru dari Kampus Mengajar tersebut? Pada tataran bawah, masalah assesemen authentik hingga yang trending terakhir ini adalah Asesemen Kompetensi Minimum (AKM), jujur harus kita akui belum semuanya dipahami dan mampu diaplikasikan.  Sedangkan di sisi yang lain arus gelombang generasi milenial dari Kampus Mengajar akan merangsek masuk mewarnai sistem pendidikan.

Apakah ini salah? Tidak. Ini tidak salah, bahkan menurut hemat penulis, inilah trobosan sesungguhnya. Mungkin lebih ekstrim dapat dikatakan inilah “Revolusi Pendidikan di Indonesia”. Seperti kita ketahui bersama, dimanapun itu, revolusi dalam bidang apapun, karena perubahannya sifatnya sangat cepat akan mengakibatkan banyak korban. Korbannya siapa? Korbannya ada pada mental dan kepercayaan diri guru-guru kita.

Di tengah-tengah serbuan masif arus generasi milenial dari Kampus Mengajar yang merangsek masuk ke sistem pendidikan, akan berdampak kepada mental dan kepercayaan diri guru-guru senior. Karena mereka itu pada dasarnya berbeda. Guru senior lebih banyak berasal dari kalangan konservatif yang memandang kenyamanan dan stagnasi adalah hal yang terbaik. Sementara para guru pemula yang akan segara hadir ini, berasal dari kalangan generasi muda yang agresif, pembaharu dan suka tantangan. Kalau keduanya di campur, ibarat mencampur air dengan minyak kepala, maksud penulis minyak kelapa.

Saya jadi teringat apa yang pernah disampaikan oleh Prof Dantes, seoarang pakar pedagogi pendidikan sewaktu beliau menjadi narasumber seminar pendidikan di Undiksha Singaraja. Kurang lebih beliau mengatakan, “Profesi guru di Indonesia tingkat keterancamannya rendah”. Artinya guru-guru kita bekerja dengan sangat nyaman, tidak pernah terancam, sangat berbeda jika dibandingkan dengan pegawai pada profesi lain di swasta, yang jika tidak mampu memenuhi target pekerjaan mereka bisa dipecat. Sementara pada profesi guru kita sekarang, sangat jauh dari kedaan itu. Ya saya sebagai sama-sama guru tentu bersuykur dengan keadaan ini.

Akan tetapi untuk melihat Indonesia dari persepktif jangka penjang, dimana perubahan menuju kemajuan harus dilakukan, secara tidak langsung, pradigma pendidikan harus juga berubah. Mind set kita terhadap sietem pendidikan dan pola pembelajaran harus juga berubah dengan cepat. Intinya revolusi pendidikan harus dilakukan. Untuk mewujudkan perubahan itu, ancaman terhadap profesi pendidikan harus ditingkatkan. Mungkin salah satu hal inilah yang ditangkap oleh Mas Menteri, yaitu mempercepat terjadinya transformasi perubahan. Melalui Program Kampus Mengajar dapat mengancam persepktif stagnanisasi guru yang selama ini berlaku, dan berubah cepat secara adaptif Menyesuaikan dengan kondisi terkini dan masa depan. Maka secara tidak langsung, jika kita sebagai guru masih berpikir stagnan maka akan digilas zaman. Siapkah kita untuk berjalan beriirangan dengan skala perubahan yang super masif seperti gebrakannya Mas Nadeim, sementara kita yang telah eksis masih tertatih-tatih merubah pola pembelajaran yang relevan dengan kekinian. Jangankan merubah pola pembelajaran, di tataran pola pikir yang resisten terhadap perubahan masih sering kita temui. Salam.


1 Comment

Ni Luh Sari Suryastini · February 13, 2021 at 12:47 pm

Kalau saya lebih melihat ini dari sisi kepentingan peserta didik. Dan saya yakin, guru kita yang sudah eksis, akan mulai belajar bertranformasi dengan calon guru yang notabene kaum milenial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: