AKM = ANTARA KEHIDUPAN DAN KEMATIAN
Rencana pelaksanaan Assesemen Kompetensi Minimum yang akan di geber Kemdikbud secara serentak untuk sekolah dasar sekitar bulan Agustus Tahun 2021, boleh jadi merupakan harapan baru bagi perkembagangan pendidikan di Indonesia. Sebelumnya selain rencana perubahan dari Ujian Nasional ke Assesemen Kompetensi Minimum, Kemdikbud telah melaksanakan program Zonasi PPDB model baru, yang tujuannya adalah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mengenyam pendidikan berdasarkan tempat tinggalnya. Hal ini akan meniadakan sekolah pavorit dan sekolah pinggiran, sehingga membuka seluas-luasnya bagi sekolah dan guru untuk mendapat kesempatan mendidik bakat-bakat unggul dari siswanya.
Tahapan berikutnya yang merupakan ganjalan pelaksanaan sistem pendidikan yang telah menjadi penyakit akut dan berlangsung tahun menahun, adalah Ujian Nasional yang telah dituding sebagai penyebab tidak pernah meningkatnya mutu pendidikan kita, turut dirombak. Mulai dari mengembalikan kewenangan sekolah dan guru sebagai pihak yang berhak untuk melaksanakan penilaian sampai dengan akan diberlakukannya Assesemen Nasional yang bertujuan memetakan mutu pendidikan secara menyeluruh dan mendalam dari aspek kompetensi siswa.
Rencana penyelenggaraan Assesemen Kompetensi Minimum pada siswa akan berdampak kepada tuntutan mutu pembelajaran yang harus meningkat di hari-hari mendatang. Acuan instrumen alat ukur Assesemen Nasional adalah berskala internastional dengan merujuk pada VISA sebagai modelnya. Konten literasi dan numerasi yang menjadi muatan pokok Assesemen Kompetensi Minimum, sesungguhnya tidak bisa dikatakan minimum, karena dalam persepektif pendidikan kita, dapat digolongkan sebagai standar yang tinggi.
Seperti diketahui, indeks kemampuan literasi anak-anak Indonesia dalam 5 tahun terakhir terus terpuruk berdasarkan skor VISA, sehingga faktanya adalah kemampuan menerima, mengolah dan mengkomunikasikan informasi masih rendah. Sementara Assesemen Kompetensi Minimum memuat soal yang tingkat kompleksitasnya secara literasi sangat tinggi. Maka dari itu AKM sesungguhnya telah mengambil standar tinggi dari sistem penilaian yang diharapkan berimplikasi kepada sistem pembelajaran ke depannya, yang juga menghasilkan mutu yang tinggi.
Apakah penerapan standar tinggi itu layak? Sementara kondisi sosial ekonomi masyarakat kita masih rendah dengan rumitnya sistem birokrasi yang masih menjadi kendala dalam mempercepat perbaikan mutu pendidikan? Dalam hal ini menurut hemat penulis, lompatan seperti ini harus dilakukan. Artinya standar tinggi itu harus diambil, jika kita tidak ingin kembali menempati peringkat terbawah dalam hal kemampuan literasi anak-anak kita, dibandingkan dengan anak-anak sebayanya di negara lain.
Hal ini menjadi tantangan bersama, karena pada suatu waktu, untuk mengadakan perubahan, diperlukan suatu kenekatan dan terukur. Karena kalau kita masih saja bersikap hanya untuk memikirkan dan mempertimbangkan berbagai aspek, hingga proses atau upaya dalam fase pertimbangan itu, justru tidak melahirkan aksi apa-apa, maka kita akan tetap jalan di tempat, akhirnya lompatan atau trobosan tidak akan pernah terjadi.
0 Comments