RENUNGAN ANTARA DEWA YADNYA DAN MANUSA YADNYA DALAM PERPEKSIF MODEREN

Published by TeacherCreativeCorner on

Pada postingan saya saat ini adalah untuk mengupas apa sih hubungan antara peran kita sebagai guru. Seperti yang saya sampaikan berulang kali, bahwa guru itu menurut Hindu adalah Catus Guru yaitu 1) Guru Swadiaya; 2) Guru Wiseesa, 3) Guru Pengajian, 4) Guru Rupaka.  Peran kita sebagai Guru Pengajian maupun Guru Rupaka adalah amanat yang diberikan oleh Guru Swadiaya (Idha Sanghyang Widi Wasa) yang diteruskan oleh kewajiban kita kepada Pemerintah (Guru Wisesa) yang merupakan representasi dari negara sebagai kekuasaan kolektif masyarakat.

Tanggungjawab kita sebagai warga negara yang kebetulan memerankan tugas sebagai guru, yang diandalkan untuk mendidik insan manusia antar generasi merupakan tanggung jawab mulia. Secara tidak langsunng tanggungjawab kita sebagai guru (baik Guru Rupaka maupun Guru Pengajian) adalah merupakan perintah Tuhan. Maka dari itu peran masing-masing untuk senantiasa berkolaborasi dalam mengerjakan tugas harus senantiasa terjalin. Upaya bekerjasama saling bahu membahu antara Guru dan Orang Tua merupakan sebuah keharusan dalam mengembangkan pendidikan yang bersifat menyeluruh bukan hanya ranah kognitif tetapi juga sikap dan karakter.

Peran Guru dan Orang Tua dalam mengupayakan pendidikan yang baik dari persepsi Hindu merupakan bagian dari Yadnya. Yadnya yang diistilahkan dengan Panca Yadnya dalam perspektif Hindu terdiri dari Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya dan Butha Yadnya menempatkan Orang Tua dan Guru sebagai bagian dari manusia Hindu seyogyanya mengamalkannya sebagai bentuk upaya pengorbanan suci yang tulus dan iklas kepada masing-masing bentuk yadnya tersebut. Keseluruhan yadnya tesebut pada akhirnya akan bermuara kepada bagaiamana kita mensyukuri keberadaan kita telah diberikan kesempatan mengisi kehidupan dalam takdir kita yang harus mengkuti siklus Punarbawa. Baik Rsi, Manusa, Pitra dan Butha yadnya pada akhirnya akan bermuara kepada Dewa Yadnya sebagai bentuk yadnya tertinggi.

Pada implementesi dari ajaran Yadnya sebagai upaya persembahan yang tulus dan suci kebanyakan kita langsung dalam format Dewa Yadnya. Hal ini telah berdampak luas kepada bagaimana Umat Hindu dalam mengimplementasikan Ajaran Hindu dalam kehidupan sehari-hari. Fokus kita sering lebih dominan kepada bagaimana kita beryadnya ke bentuk pertama yaitu Dewa Yadnya. Seperi dijelaskan sebelumnya, yadnya dalam bentuk apapun pada akhirnya akan bermuara ke Dewa Yadnya. Persepsi feodalisme yang tradisional masih mengekang kita, dan selalu berpandangan bahwa yadnya yang benar adalah kita telah langsung dalam format Dewa Yadnya. Sementara yadnya dalam bentuk lain juga memegang peranan penting dan memiliki makna dan dampak yang lebih besar, seolah terabaikan.

Sebagai contoh, kita masing senang dan seolah menjadi tren, bahwa sembahyang ke pura-pura yang jauh sambil berekreasi dengan tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial kita yang matang, karena hanya berdasarkan kepentingan yang sifatnya pribadi dan ego kita. Kita masih senang mendahulukan upakara besar-besaran dengan menghabiskan biaya puluhan juta rupiah tanpa kalkulasi finansial yang matang, dengan alasan adat dan tradisi yang masih menjadi perdebatan. Bahkan karena hal ini, kita di masyarakat Hindu di Bali masih berdebat dan terkadang berujung pada penghakiman kepada pihak-pihak yang memiliki keyakinan berbeda, dalam meyakini dan mengamalkan ajaran ke Hinduan dengan keberagaman persepektif.

Pertimbangan logis yang dijadikan alasan untuk mengkerdilkan hak mendasar dalam berkeyakinan biasanya adalah adat istiadat dan kesepakatan krama yang terkadang sering berakhir dengan pengucilan sebagian komunitas. Tidak terbilang lagi berbagai kasus baik terungkap ataupun tidak kondisi komunal ini telah membawa pada dampak pemiskinan sebagian pihak yang masih terbatas dalam kemampuan ekonomi dan lemah dalam daya tawar komunal. Kesepakatan krama atau pemaksaan mayoritas dalam penyelenggaraan yadnya telah mengaburkan makna yadnya tersebut yang berujung kepada pemiskinan pihak lainnnya.

Konflik yang mengemuka baik viral maupun silent, sesungguhnya sering terjadi di sekitar kita. Tetapi sebagian enggan menggunakan sisi logika untuk mengkritisinya, karena sebagian orang yang kritis berdasarkan logika akan dituding sebagai bentuk perlawanan yang berlabel negatif dan radikal. Bukankah kelompok komunal masyarakat telah juga berlaku radikal pada kondisi Pandemi Covid-19 ini? Misalnya saja, bagaimana aturan pemerintah memberlakukan pembatasan interaksi sosial masyarakat telah berdampak kepada penundaan acara-acara adat dan keagamaan yang sebelumnya pantang mereka lakukan. Sekali lagi, kuasa mayoritas komunal telah menyebabkan hal ini dapat terjadi.

Sesungguhnya logika apapun yang digunakan jika itu berlaku untuk komunitas mayoritas adalah sah dan dapat diterima, tetapi tidak berlaku untuk pandangan yang dikemukakan oleh sebagian kecil orang, walupun hal itu logis. Hal itu terjadi karena sistem komunal yang masih beraroma feodalisme masih kental terjadi pada msyarakat kita. Argumentasi selogis apapun masih enggan diterima sebagai sebuah alternatif pemikiran yang dapat membawa kita keluar dari peramsalahan, karena mereka adalah minoritas. Hal ini terjadi pada implementasi pelaksanaan Yadnya itu sendiri, dimana ajaran nan luhur ini telah mampu membawa Hindu sebagai ajaran yang universal dan dapat diterima secara logis dan bermanfaat dari generasi ke generasi dan diadopsi secara luas bahkan menduni.

Peran Orang Tua dan Guru dalam mengimplementasikan yadnya dalam perannya sebagai pendidik, masih dipahami secara terbatas. Kita masih membedakan dan belum mampu mengambil pemahaman yang esensial bahwa yadnya dimana Manusa Yadnya salah satunya dapat diaamalkan dalam bentuk upaya berkorban yang tulus dan iklas dalam bentuk uapaya kita  mendidik anak atau siswa. Terkadang kita lebih mengutamakan perwujudan lain dari yadnya seperti Dewa Yadnya, dari pada mengedepankan peran kita dalam mendidik anak atau siswa sebagai bentuk Manusa Yadnya. Padahal menjalankan ajaran Agama Hindu dalam bentuk Manusa Yadnya akan berpulang kepada Dewa Yadnya itu sendiri. Yadnya dalam pandangan penulis bukan hal yang harus dipisah-pisahkan dalam ranah implementasinya, karena yadnya apapun itu berpulangnya kepada Tuhan atau Dewa Yadnya.

Melihat paparan di atas memberi kita gambaran bahwa sesungguhnya, kita sebagai Guru maupun orang tua harus melaksanakan yadnya seara berimbang. Terkadang kita takut memberi perhatian lebih kepada biaya sekolah anak-anak kita, tetapi sangat mudah bagi kita untuk mepunia ke pura-pura yang kita belum tahu peruntukannya untuk apa. Kita masih lebih senang membayar iuran berjuta-juta rupiah untuk renovasi pura-pura kita dari pada membayar iuran pendidikan anak-anak kita. Kita sangat bangga jika upacara adat atau keagamaan yang kita laksanakan megah dan lebih baik dari pada yang diseleggarakan orang lain. Kita lebih senang dan bangga jika bangunan pura atau pelinggih kita mewah dan bahkan tidak ada yang menyamainya. Kita bahkan berani menyediakan waktu kita berhari-hari hanya sekedar untuk mekemit dan bepergian sembahyang di pura-pura yang jauh dari kita.

Sebaliknya, kita selalu mengkritisi kebijakan pemerintah yang membebani kita dengan biaya-biaya pendidikan. Kita tidak rela membayar sejumlah uang untuk sekedar membelikan buku untuk kepentingan anak-anak kita. Kita sangat mengharapkan bantuan beasiswa ketika anak-anak kita sekolah. Kita sangat enggan untuk menyisihkan penghasilan kita untuk pendidikan anak-anak kita. Kita masih berpikir panjang jika diminta bantuan oleh sekolah, walaupun hanya sekedar bantuan untuk bergotong-royong atau menghadiri rapat-rapat sekolah.

Yang lebih ekstrim lagi, kita rela menaruh pekerjaan kita dalam  memperhatikan pendidikan anak-anak kita karena alasan kita sibuk ngayah, meyadnya di sana dan di sini. Kita bahkan rela meletakkan tanggung jawab kita sebagai abdi negara dalam kewajiban kita mendidik karena alasan menyelenggarakan yadnya. Kita bahkan kadang mendahulukan meyadnya dengan sembahyang atau melaksanakan upacara agama atau adat menjadi lebih penting dari kewajiban kita memperhatikan dan pendidikan anak-anak  dan siswa kita.

Berdasarkan uraian di atas, seolah-olah kita berada dalam dilema antara pilihan mana yang lebih didadulukan antara Manusa Yadnya sebagaimana kita mengamalkannya dalam pendidikan kepada anak ataupun siswa kita dengan Dewa Yadnya sebagai bentuk pengamalan kita memasrahkan diri kehadapan Tuhan dengan pemberian suci yang tulus dan iklas. Coba kita renungkan bersama, bukankah hubungan kita dengan Ida Sanghyang Widi itu bersifat personal dan vertikal? Bukankah hubungan kita dengan sesama manusia adalah masal dan horisontal? Kalau kita sepakat dengan hal ini coba kembali renungkan. Jika kita mampu beryadnya secara baik dengan sesama kita (Manusa Yadnya) termasuk dengan pendidikan anak atau siswa kita, kita telah melakukan hal yang sangat mulya. Kalau boleh kita beri skor. Manusa Yadnya itu skornya 4, dan Dewa Yadnya itu skornya 3.

Alasan logisnya dapat diuraikan berdasarkan manfaat dari fokus dan perhatian kita lebih kepada Manusa Yadnya yaitu :

Categories: Uncategorized

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: