VUCA dalam Pengembangan Karakter Anak
Laju perkembangan Revolusi Industri 4.0 dan upaya menyeimbangkan dampaknya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan umat manusia pada Era Society 5.0 merupakan visi besar manusia untuk menyelaraskan perkembangan teknologi beserta implikasinya bagi kehidupan manusia. Dunia pendidikan merupakan garda terdepan yang diharapkan mampu mengarahkan mental Generasi Millenial agar senantiasa berakselerasi secara bersama-sama dan harmonis. Pembentukan karakter yang akan mendasari perilaku dan sikap yang akan membekali anak-anak kita, menjaga eksitensinya untuk melestarikan peradaban dengan adaptif terhadap perubahan yang tidak terkendali dan tidak terprediksikan. Mendidik anak-anak untuk selalu dapat mencari pemecahan atas permasalahan dan senantiasa dapat hidup berdampingan dengan ancaman dan tantangan yang bersifat VUCA itu sendiri.
Beberapa keterampilan dasar yang dapat dibudayakan pada upaya pembentukan karakter anak merupakan ruang lingkup pendidikan dimana orang tua, guru dan lingkungan dapat mengambil peran sesuai kapasitasnya masing-masing. Masing-masing pihak mengambil peran dan tangggungjawab terhadap pembentukan karakter, sikap dan perilaku anak dengan melatihkan beberapa keterampilan dan sikap sebagai bentuk pembiasaan pada anak.
Keterampilan Motorik dan Imajinatif
Keterampilan mendasar yang harus dibentuk dan dikuatkan oleh kita sebagai orang tua maupun guru sebagai orang terdekat dengan keberadaan anak adalah menjamin mereka dapat tumbuh berkembang sesuai usianya. Tahapan sensori motorik dan pra operasional konkret merupakan masa-masa dimana anak lebih banyak menghabiskan waktu melatih aspek motorik seiring perkembangan beberapa organ geraknya yang sedang tumbuh dan berkembang secara masif berjalan normal. Permainan dan keterampilan fisik yang dapat merangsang pertumbuhan fisik dan perkembangan mentalnya sehingga mampu menstimulasi aspek ingin tahu dan daya imajinasinya. Usia 4 ~ 6 tahun merupakan persiapan bagi anak-anak kita untuk menapaki jenjang pendidikan operasional konkret pada fase berikutnya.
Aspek mental anak yang penuh imajinasi harus kita pelihara dan kembangkan seiring keinginan dan rasa ingin tahunya yang juga berkembang. Mereka sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan di luar konteks pembicaraan seiring dengan imajinasinya yang tinggi. Mereka belum memiliki beban konsep dan prosedural yang kelak justru akan lebih mengungkungnya sehingga pengembangan aspek kreatifitas seiring perkembangan usia semakin terbatas. Pada masa inilah sesungguhnya masa paling strategis dalam menstimulasi pembentukan sikap agar anak-anak kita selalu dapat hidup berdampingan dengan tantangan dan ancaman. Melalui permainan yang menantang dengan mempertimbangkan usianya kita dapat melatih dan menjaga agar motivasinya tetap terpelihara. Tantangan yang relevan diberikan adalah masih dalam tataran imajinatif, yang menggambarkan bahwa mereka hidup dalam ancaman.
Pengembangan sikap yang lain juga dapat diberikan secara simultan adalah bagaimana mereka dibiasakan bahwa dalam mengatasi tantangan tersebut senantiasa berkolaborasi dengan oran lain. Hal ini merupakan bagian terpenting dalam melatih sikap melalui keterampilan berkerjasama dalam permainan. Hendaknya kita senantiasa menghindari memimalisir permainan individual apalagi membiarkan anak-anak bermain sendirian. Pola bekerjasama dalam permainan yang menantang dimana keterlibatan kita sebagai orang tua dalam permainan tersebut dapat sekaligus mengarahkan arah permainan untuk sesekali memberikan anak kita kepercayaan diri sehingga senang dan termotivasi untuk melakukan permainan berikutnya.
Aturan yang diterapkan dalam permainan itu berdasarkan kesepakatan dan diciptakan bersama anak-anak. Permainan tidak kaku, seperti mengikuti aturan layaknya permainan orang dewasa. Perubahan aturan dalam permainan harus kita lakukan setiap saat, hal ini dilakukan berdasarkan kesulitan permainan yang dirasakan anak, atas saran mereka dan kita putuskan bersama bahwa inilah aturan permainan baru kita. Sesekali kita dapat merangsang anak untuk bersama-sama menciptakan permainan sendiri dengan aturan yang kita buat bersama-sama. Tensi permainan secara bertahap ditingkatkan ke level yang lebih kompleks, sehingga tercipta fluktuasi dinamika permainan. Pada saat tertentu kita dapat bersama-sama membuat permainan yang membuat situasi tidak konsistenan, penasaran dan bingung. Akan tetapi tetap dalam kerangka pengembangan imajinasi anak dengan tetap memperhatikan resiko psikologis dan fisik. Sehingga peran orang tua dan guru dalam menjadi dominan dalam rangka nmembimbing anak-anak untuk mengarahkan agar permainan tetap menantang sesuai batas usianya. Melalui kegiatan itu anak akan terbiasa dengan tantangan dan ancaman.
Penguatan dan pengahargaan harus menjadi bagian dari permainan tersebut. Perayaan kecil dapat kita lakukan untuk menghargai mereka telah mampu mengatasi ancaman dan tantangan sehingga mereka tetap termotivasi untuk bermain pada tahapan berikutnya.
Karakter Tangguh dan Rasa Ingin Tahu
Usia anak ketika beranjak dewasa dari umur 7 hingga 12 tahun, merupakan perkembangan lebih lanjut untuk menselaraskan fase imajinasinya yang dominan yang akhirnya menuju fase konkret. Mereka kita perkenalkan dengan fakta-fakta lingkungan sekitar kita yang bersahabat sekaligus tantangan dan acaman baginya. Sebagai guru maupun orang tua, tentu saja kita menginginkan anak-anak kita untuk tidak takut menghadapi rintangan (obstacles) yang akan mereka alami. Kita ingin mereka belajar memecahkan permasalahan baik secara mandiri maupun berkelompok.
Sikap yang harus kita kembangkan dan kuatkan adalah tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan. Hal ini dapat dibentuk dengan memperkenalkan anak pada situasi-situasi sulit yang akan mereka alami dan sebenarnya nanti. Seperti misalnya, mereka kita bawa ke sawah dan harus berlumpur-lumpur dan menanam bibit padi, atau mereka kita berikan kesempatan untuk membuka “bisnis” sendiri dengan menjual hasil karya mereka sendiri, dan lain sebagainya.
Sebagai guru maupun orang tua kita harus dibiasakan memberikan tugas-tugas yang lebih kompleks kepada mereka dan membiarkan anak untuk menyelesaikannya. Motivasi untuk senantiasa mendorong anak untuk lebih tangguh dalam menyelesaikan masalah dalam mengerjakan tugas tersebut harus selalu kita dorong. Posisi kita dalam hal ini senantiasa memberikan bimbingan dan penguatan kepada anak, sehingga anak-anak kita tida lekas putus asa dan terpacu serta termotivasi dalam memecahkan masalah yang mungkin mereka dapat temukan sendiri bahkan berkelompok.
Sebagai orang tua saat ini kita dapat membagi tugas mengerjakan pekerjaan rumah kepada anggota keluarga termasuk kita sendiri dalam posisi memberi keteladanan. Kepercayaan kepada mereka untuk dapat mengerjakan pekerjaan tersebut beserta menyelesaikan permasalahan yang mungkin ditemukan merupakan tindakan membangun ketangguhan dan kepercayaan diri kepada dirinya. Hal yang tidak boleh terlupakan adalah, situasi yang tercipta harus selalu ada tantangan, ancaman, diskusi dan kerjasama, walaupun pada situasi tertentu hal tersebut dapat diterjadikan secara mandiri.
Pembagian tugas yang kita berikan kepada mereka juga harus mencerminkan gambaran tentang VUCA. Sesekali kita merubah pola pembagian tugas, merubah pola mengerjakan tugas tersebut, dengan tidak meninggalkan aspek kebersamaan, diskusi dan kerjasama. Kita dapat mengarahkan mereka membuat kesepakatan tentang aturan-aturan kerja baru yang mereka sepakati. Pertikaian dan perselisihan adalah bagian dari ancaman, kita sebagai orang tua memberikan pembimbingan jika hal ini terjadi, dengan tetap mengkomunikasikan tentang hakekat dan tujuan dari tugas tersebut dan manfaatnya ketika pekerjaan tersebut dapat diselesaikan.
Demikian halnya jika kita sebagai guru, pengembangan karakter dan sikap tanggguh dan percaya diri kepada anak pada masa pendidikan di sekolah dasar merupakan bekal bermakna yang diperoleh dan akan mereka terapkan di kehidupan yang nyata. Pendekatan pembelajaran penugasan berkelompok, Model Peroject Base Learning, Model Problem Base Learning sangat relevan diterapkan. Fakta tantangan dan ancaman dalam menjalani kehidupan di tengah-tengah kemajuan Revolusi Industri 4.0 dapat secara gamblang kita gambarkan kepada anak. Rasa ingin tahu anak untuk mendorong mereka bereksplorasi dengan media dan bahan ajar yang dapat mereka peroleh dengan berbagai macam cara termasuk di dalamnya adalah internet.
Tantangan nyata tentang alam yang dapat menjadi sahabat sekaligus ancaman bagi kehidupan, kita belajarkan kepada mereka secara langsung melalui kegiatan observasi dan proyek-proyek belajar lainnya. Kegiatan tersebut dapat kita selenggarakan secara mandiri maupun berkelompok dengan keterlibatan guru secara intensif. Kesempatan kita sebagai guru dalam hal tersebut adalah memberikan mereka tantangan dan ancaman nyata dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang kita ajukan sebagai tugas. Setiap akhir kegiatan kita dapat kembali menugaskan mereka untuk membuat laporan dan mengkomunikasikan laporan tersebut baik secara verbal maupun tulisan.
Pada setiap kesempatan baik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan akhir kita meninjau dan merubah tatanan penugasan yang sengaja kita laukan untuk mencaukan situasi sehingga situasi VUCA benar-benar terwujud dalam kegiatan belajar. Ketidakstabilan dan kekacauan, ketidakpastian, kompleksitas, dan kebingungan kita kelola dalam setiap tahapan pembelajaran. Saat itu kita hadir sebagai rekan kerja mereka yang terlibat langsung dan merasakan sifat VUCA sebagai bentuk keteladanan kita kepada mereka.
Contohnya, ketika kita menugaskan siswa secara bekelompok untuk mengadakan kegiatan observasi yang semula kita telah membagi tugas kepada setiap kelompok, di tengah perjalanan kita ubah pola pembagian tugas dan cara mengerjakannya, berdasarkan beberapa sebab yang beralasan. Awalnya kita tugaskan mereka mengobservasi perilaku pedagang di pasar tentang kebersihan, selanjutnya kita ubah ke observasi tentang bagaimana sikap pengunjung pasar tentang cara membuang sampah, atau bagaimana penggunaan Hand Sanitizer di pasar tersebut. Hal ini dilakukan sudah barang tentu dengan alasan dan pertimbangan tertentu yang masuk akal. Pada kesempatan lain kita dapat merubah keanggotaan kelompok dengan penjelasan tertentu. Kondisi ini tentu akan menyebabkan pergolakan, ketidakpastian, kompleksitas tugas yang baru dan kebingungan.
Tugas guru dalam hal ini akan sangat kompleks, dan kita pun akan mengalami kekacauan berpikir, ketidakpastian apakah pembelajaran ini akan dapat tuntas apa tidak, kompleksnya permasalahan, dan kita bingung sendiri. Tetapi itulah VUCA, kita harus berani mengambil resiko VUCA ketika kita berkeinginan mengembangkan karakter tangguh, mandiri, percaya diri dan suka tantangan pada siswa. Hal ini juga sebagai bentuk mencoba mengalami sendiri dampak dari ketidaknyamanan tersebut, sambil kita dapat memberikan keteladanan itu kepada siswa. Bentuk kekacauan bersama antara guru dan siswa akan menciptakan kebersamaan dalam memperoleh pengalaman belajar. Kondisi ini dapat kita andaikan ketika seorang pelatih tentara yang keseharian melatih, dan secara langsung memimpin tentara tersebut terjun ke medan perang.
Mendidik anak Memiliki Karakter Adaptif
Fluktuasi, gejolak dan dinamika pergerakan kehidupan Revolusi Industri 4.0 hendaknya disikapi secara cepat dengan prinsip mawas diri. Gerakan revolusi merupakan gerakan perubahan yang cepat, maka cara menyikapinya pun harus cepat. Perubahan substansial yang terjadi merupakan sebuah keniscayaan sesuai dengan prinsip VUCA itu sendiri. Sementara di sisi lain ketidakberdayaan kita untuk membendung perubahan itu merupakan keniscayaan dan mutlak pula. Kita tidak dapat membendung perubahan sebagaimana kita tidak juga tidak dapat memprediksi arah perubahan itu sendiri. Jalan keluar dari ketidakberdayaan atas perubahan dan kemampuan kita untuk memprediksinya adalah menyesuaian diri dengan perubahan dan arah perubahan itu sendiri dengan karakter dan sikap adaptif.
Mengajarkan anak menjadi adaptif, menharuskan kita sebagai guru maupun orang tua untuk tidak anti terhadap hal baru. Dari mulai makanan baru, pengalaman baru, orang baru, sampai teknologi dan aplikasi baru. Tidak nyaman? Memang. Akan tetapi kewajiban kita sebagai guru atau orang tua untuk tetap mengenal dunia anak-anak kita hidup sehingga kita bisa mempersiapkan mereka. Selain itu, guru atau orang tua juga dapat menjadikan sekolah, rumah dan keluarga menjadi sarana belajar yang aman bagi anak-anak. Semua rasa ingin tahu mereka tentang hal baru bisa menjadi bahan diskusi atau bahkan dicobakan. Dengan demikian anak-anak tidak mencari tahu melalui sumber informasi yang salah, melainkan tetap dalam arahan guru maupun orang tua.
Pada akhirnya, ketidakpastian memang bagian dari tatangan guru maupun orang tua di kehidupan ini. Dari awal kita tidak tahu pasti kapan akan mengandung, kapan akan melahirkan, dan akan melahirkan anak yang seperti apa. Kita tidak punya kuasa untuk mencari bibit-bibit siswa yang selalu berbakat untuk menjadi siswa kita dalam pelaksanaan PPDB. Mereka sangat unik dan kompleks yang datang dari latar belakang orang tua dan lingkungan yang beragam. Kita tidak bisa mengendalikan ketidakpastian, akan tetapi kita bisa mengendalikan diri untuk tetap mau belajar hal baru demi siswa dan anak-anak kita.
Kita tidak mempunyai kuasa yang cukup kuat untuk mengendalikan perubahan itu. Maka karakter dan sikap yang kita perlukan agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan itu adalah karakter dan sikap adaptif. Karakter dan sikap yang adaptif pada anak adalah hal yang krusial untuk dibangun di masa VUCA yang penuh dengan perubahan. Oleh karena itu sebagai guru atau orang tua jangan sampai kita takut mencoba pergi ke tempat baru, mencoba hal baru, atau mengenalkan pengalaman baru kepada anak. Awalnya memang tidak nyaman, baik bagi anak maupun orang tua. Akan tetapi terus berhadapan dengan pengalaman baru akan membuat anak belajar mudah beradaptasi terhadap berbagai situasi.
Pembelajaran di sekolah seharusnya dapat memberikan pengalaman belajar tentang bagaimana cara menyesuaikan diri terhadap perubahan itu. Seperti disampaikan sebelumnya guru dapat merubah bentuk penugasan, keanggotaan kelompok secara tiba-tiba dengan logika yang masuk akal bagi siswa. Misalnya kita mendapati suatu kelompok yang terlampau aktif sedangkan kelompok lainnya yang pasif maka kita perlu mengadakan pergeseran sehingga proses pembelajaran teman sejawat secara proporsional akan terjadi. Jangan sampai satu kelompok terus-terusan pasif sementara kelompok lain sangat aktif sehingga terjadi ketidak seimbangan.
Proses perubahan yang cepat tersebut tentu akan membawa siswa pada hal yang menyebabkan kebingungan sehingga masing-masing kita arahkan untuk menyesuaikan diri satu dengan yang lainnya. Demikian seterusnya, dalam satu kegiatan kita dapat melakukan perputaran kelompok beberapa kali. Hal ini untuk memanipulasi VUCA agar terjadi di dalam kelas sebagai suatu pengkondisian situasi agar menyerupai kondisi real kehidupan yang memang seperti itu adanya.
Proses untuk mengkondisikan VUCA di dalam kelas seperti kita ibaratnya “ngerjain” siswa. Boleh jadi dianggap sebagai proses bulliying, yang oleh sebagian pakar pendidikan dikatakan sebagai upaya menekan siswa sehingga kepercayaan diri mereka akan rendah. Disinilah peran guru sebagai pembimbing yang sebelumnya memberikan arahan, bimbingan, penjelasan tentang model pembelajaran yang kita laksanakan. Hal itu kita laksanakan adalah semata-mata untuk melatih siswa agar mampu menyesuaikan diri dengan situasi lingkungannya yang berubah cepat. Hal lain yang perlu diperhatikan guru adalah faktor keamanan, faktor psikologis siswa yang terancam terkadang yang membuat permasalahan baru. Sekalilagi kecerdasan dan kelihaian guru untuk tetap dapat memperhatikan segala aspek tersebut untuk sebesar-besarnya bermanfaat bagi pengembangan karakter dan sikap anak-anak kita.
Kondisi diantara keinginan guru untuk meningkatkan motivasi siswa melalui penguatan rasa percaya dirinya agar semakin kuat dengan keinginan guru memberi pengalaman kepada siswa belajar dalam suasana tidak stabil, ketidak pastian, kompleks dan kebingungan merupakan area kritis. Beraktifitas pada area kritis merupakan suatu kondisi yang memiliki resiko sekaligus peluang keberhasilan yang tinggi. Hampir sebagian besar inovasi dan kreatifitas memiliki peluang keberhasilan tinggi ketika dikerjakan di area kritis ini. Apakah guru maupun orang tua berani mengambil area ini? Jangan sampai kita berani bermain-main di area kritis tanpa pemikiran dan pertimbangan yang matang, justru akan dikatakan sebagai upaya coba-coba (eksperimen) yang menjadi korbannya anak atau siswa kita sendiri.
Mendidik Anak Memiliki Karakter Resiliensi
Berbagai penelitian tentang resiliensi pada anak selalu bicara tentang hangatnya hubungan orang tua dengan anak. Semakin anak merasa aman dan diterima oleh orang tuanya, anak akan semakin mampu bertahan menghadapi dunia. Semakin mampu guru menerima perbedaan capaian siswa berdasarkan keunikan masing-masing maka semakin besar peluang anak untuk tetap dapat eksis dengan motivasi dan kepercayaan dirinya.
Motivasi dan kepercayaan diri harus senantiasa dijaga oleh guru maupun orang tua setelah mereka mengalami proses belajar yang penuh tantangan dan ancaman. Tantangan untuk memperoleh pengalaman belajar yang baru yang bersifat labil, tidak pasti, kompleks dan membingungkan memerlukan perhatian guru yang lebih seksama. Wilayah pembentukan karakter dan sikap anak-anak kita seperti di sampaikan sebelumnya berada di area kritis. Guru maupun orang tua harus bertindak hati-hati dalam menangani anak di area kritis ini. Ambisi guru maupun orang tua yang bertanggungjawab dalam pengembangan karakter anak terkadang justru akan berdampak buruk bagi pengembangan karakter dan sikap anak itu sendiri.
Keinginan guru dan orang tua sebaiknya tidak dalam konteks pembentukan karakter dan sikap. Posisi guru maupun orang tua adalah dalam rangka mengembangkan karakter dan sikap anak agar lebih adaptif. Sebabnya adalah proses pembentukan sangat berbeda dengan pengembangan. Pembentukan lebih ke arah bagaimana mewujudkan karakter dan sikap yang sebelumnya sama sekali tidak ada dalam struktur konsep anak. Sedangkan pengembangan adalah perlakuaan yang mengkondisikan karakter dan sikap anak agar menyesuaikan dengan situasi terbaru.
Malalui adaptasi siswa belajar tentang perubahan yang proses belajar yang dinamis penuh dengan tantangan dan ancaman yang akan membawa siswa kita bersikap tangguh, tidak cepat menyerah, dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Guru maupun orang tua harus senantiasa membimbing dan memotivasi anak-anak jika terdapat yang putus asa dan kepercayaan dirinya yang merosot. Aspek psikologis anak ketika mendapat ancaman dan tantangan tidak semuanya tangguh dan kuat. Tekanan yang berlebihan pada anak justru akan membawa dampak buruk bagi akrakter anak itu sendiri. Proses pendidikan yang terlalu keras dengan mengatasnamakan penanaman sikap perlu dikaji dan disesuaikan dengan konteksnya.
0 Comments