Fanatisme Guru
Menjadi Guru Radikal
Bagian II Fanatisme Guru
Ingat tulisan saya terdahulu tentang Menjadi Guru yang Radikal Bagian Pertama yang bertajuk Kembali ke Pemikiran Awal. Bagi pembaca yang budiman yang belum sempat membaca bisa dilihat tulisan penulis terdahulu di sini. Menjadi guru yang radikal atau mungkin penulis mengistilahkannya dengan istilah lain yaitu Fanatisme Guru merupakan frase yang ingin menggambarkan guru yang kuat dengan prinsip dan idealismenya sebagai guru. Kalau kembali ke pemikiran awal seperti penulis bahas sebelumnya dimana hal yang perlu di garis bawahi adalah bagaimana sosok guru itu dapat memulyakan dirinya tanpa terbebani oleh tuntutan finansial yang atau singkatnya gaji. Karena seperti penulis contohkan dimana para guru zaman dulu, menjalani pekerjaannya secara iklas karena terpanggil oleh tanggung jawab untuk meneruskan ilmu yang mereka miliki kepada murid-muridnya yang merupakan bagian dari generasi yang akan meneruskannya.
Kesadaran ini tidak akan muncul dengan instan, karena guru yang memiliki keinginan untuk meneruskan ilmu yang telah dimilikinya karena mengetahui bahwa mereka tidak mungkin untuk hidup selamanya sambil membawa ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Seseorang yang disebut guru yang telah memiliki ilmu pengetahuan tersebut merasa berkepentingan untuk meneruskan ilmu yang mereka miliki untuk dapat diketahui dan diamalkan oleh murid-muridnya yang dalam hal ini merupakan generasi berikutnya. Kepentingan inilah yang mendasari guru zaman dulu membuat perguruan, padepokan atau pasraman.
Konten materi pelajaran dulunya diberikan dengan metode-metode yang ditemukan dan dikembangkan sediri oleh para guru, dimana menurut mereka, dengan cara itu ilmu pengetahuan yang dimilikinya segera dapat dikuasai oleh muridnya. Kegiatan ini dilaksanakan dengan penuh keiklasan tanpa mengharapkan sesuatu apapun dari muridnya. Kepentingannya hanya untuk dapat menurunkan ilmunya kepada muridnya semata.
Istilah perguruan adalah sebuah konsep pengajaran yang berkembang pada awalnya. Guru-guru dengan idelismenya senantiasa mendidik muridnya sehingga kelak mereka akan dapat menjadi seperti dirinya sendiri. Para pengikut perguruan yang terdiri dari murid-murid menjadikan guru sebagai sumber belajar segala hal, mulai dari perkataan, sikap, sopan santun, keterampilan, kecakapannya hingga harus sama dalam hal pandangan dan pendapatnya. Guru saat itu memandang dirinyalah yang terbaik, karena mereka telah menguasai bidang keahliannya yang layak untuk ditularkan kepada muridnya. Segala kebenaran adalah ada pada guru itu sendiri. Zaman dulu, guru adalah model, karena dialah yang terbaik pada kelompok belajar tersebut. Guru dengan bermodalkan semangat kemerdekaan dalam mengajar dapat menciptakan kreasi-kreasi berdasarkan persepsinya bahwa itu yang terbaik dan benar menurut guru itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu konsep guru mengalami perkembangan yang dulunya hanya dalam rangka menurunkan ilmu pengetahuan berdasarkan pengalaman dan keterampilan yang dimilikinya menjadi hal yang lebih kompleks. Perbedaan pengajaran masa itu dengan sekarang tidak lebih karena kita saat ini dan mereka saat itu memiliki perbedaan konteks, latar belakang dan situasi. Ada beberapa perbedaan pola perguruan yang sekarang berkembang menjadi pendidikan. Perbedaan mendasar lainnya adalah kata perguruan dengan pendidikan di masa kini, adalah menyangkut pada ruang linkupnya. Bahkan pendidikan tinggi saat ini masih menyebutnya sebagai istilah perguruan tinggi.
Konsep pengajaran ruang lingkup materi semuanya tergantung dari kemampuan guru baik dari sisi penguasaannya atau cara mengajarkannya. Seperti dijelaskan di atas ilmu dan kebenaran ada pada guru. Hal inilah yang menjadi sebab guru zaman dulu sangat fanatik dengan kelompok pergurunanya. Masing-masing perguruan berjuang untuk dapat bersaing mempertahankan dan mewujudkan idealismenya. Sistem perguruan yang sederhana yang tidak terikat oleh aturan yang ketat dengan konten materi yang dapat dikembangkan sediri oleh gurunya. Zaman itu kurikulum dibawa oleh gurunya sendiri. Kelembagaan perguruan tidak memiliki kewajiban untuk bertanggunjawab pada pihak lain. Tanggungjawabnya adalah bagaimana guru mampu menurunkan ilmu pegetahuan dan kacakapan kepada murid-muridnya berdasarkan kepentingan guru itu sendiri.
Perguruan pada zaman dulu selanjutnya berkembang mengikuti perubahan zaman hingga saat ini diistilahkan menjadi pendidikan. Fanatisme perguruan zaman dulu berkembang pula menjadi keterbukaan guru dalam menyelenggarakan pengajaran yang saat ini diistilahkan dengan pembelajaran. Guru tidak lagi merupakan satu-satunya sumber belajar. Sumber belajar saat ini dapat diperoleh dari manapun. Selain pegetahuan dan keterampilan, termasuk aspek sikap menjadi keharusan mampu dibentuk oleh guru kepada siswanya. Pendidikan yang selanjutnya dilembagakan secara formal, dimana tanggungjawab guru tidak hanya pada ranah keterampilannya, juga terkait pengetahuan dan sikapnya. Ketika negara mengambil bagian menjadikan sistem pendidikan sebagai sistem yang terintegrasi dengan visi dan misi pemerintah. Sistem ini menjadikan proses pengajaran oleh guru dalam sistem perguruan tradisional di masa lalu menjadi sistem pendidikan moderen yang melibatkan unsur-unsur pengelolaan pendidikan yang lebih moderen. Sesungguhnya baik di masa perguruan tradisional ataupun pendidikan moderen di masa kini, esensinya tetap sama yaitu mempertemukan antara guru dengan muridnya.
Sampai di sini kita telah memeperoleh gambaran bahwa fanatisme guru sesungguhnya adalah pandangan yang melihat posisi guru di hadapan siswa baik dari sudut pandang perguruan maupun pendidikan moderen merupakan dua pihak yang tidak dapat dipisahkan. Keinginan guru untuk mengajar atau mendidik siswa dengan harapan masa depannya menjadi lebih baik. Ketika kita memahami hal ini maka fanatisme guru memang sangat perlu untuk ditumbuhkan. Guru yang fanatik selalu memandang bahwa apapun yang dilakukannya ketika proses pengajaran maupun pendidikan semata-mata untuk siswa. Segala tindakan guru dalam menjalankan tugasnya adalah untuk sebesar-besarnya manfaat bagi perkembangan penguasaan aspek kognitif, afektif dan psikomotor siswa. Mereka memiliki otoritas dengan tetap berpegang kaedah kelmuan dan kode etik profesinya. Seperti itulah karakter guru yang fanatik dengan tugasnya.
Pendidikan moderen menempatkan pengelolaan pendidikan sebagai sudut pandang dalam rangka meningkatkan proses pengajaran dan pendidikan. Pengelola pendidikan selalu menjaga agar proses pengajaran dan pendidikan oleh guru kepada siswa dapat berjalan sebagai mana mestinya. Pengelola pendidikan sangat berkepentingan dengan guru-guru yang fanatik terhadap tugasnya. Pengelola pendidikan akan selalu menjaga agar guru dengan keilmuan dan keahliannya dalam menyelenggarakan pembelajaran. Guru terjaga dari sisi otoritasnya, guru juga terjaga dari sisi kompetensinya sehingga jaminan pemerolehan hasil pendidikan dapat di jaga oleh pengelola pendidikan. Otoritas guru yang fanatik dalam menyelenggarakan pembelajaran senantiasa di pelihara oleh pengelola pendidikan.
Baiklah pembaca yang budiman, pembicaraan masalah fanatik mungkin akan membawa pemikiran kita kepada hal-hal yang terkesan seperti keras, tegas, kaku, tidak toleran, tidak mau bekerjasama, tidak berusaha memahami yang lain. Pemahaman fanatik dari sisi pandangan hidup maupun relegi, sangat jelas akan membawa kita ke pendapat yang tidak dapat dikompromikan. Sikap fanatik jika kaitkan dengan profesi guru, atau dengan kata lain, fanatik dengan pekerjaannya sebagai guru, akan memiliki persepsi yang berbeda. Guru keras hati tentang suatu hal bahwa mereka bekerja sebagai guru adalah untuk bagaimana siswanya dapat belajar dengan nyaman. Guru tegas untuk membela bahwa tugas pokoknya adalah sebagai guru. Guru sangat kaku dengan pendiriannya, bahwa ia bersikukuh bahwa perannya adalah sebagai fasilitator pembelajaran. Guru tidak toleran dengan perilaku siswa yang nyontek atau sejenisnya. Guru tidak akan pernah memahami tentang penilaian yang objektif. Kalau demikian adanya apakah fanatisme guru itu kurang baik, atau bernuansa negatif? Tentu tidak bukan? Kita bahkan sangat memerlukan guru-guru seperti itu.
Sampai di sana, penulis sangat yakin pembaca sekarang mengerti bahwa fanatisme yang hendak dikembangkan oleh guru dalam menyelenggarakan pembelajaran dengan tetap memperhatikan kode etik, standar keilmuwan guru baik konten maupun pedagogi, sangat penting untuk diwujudkan. Kondisi itu akan berdampak pada pelaksanaan yang mempertahankan kaedah pembelajaran yang inovatif, tetap dapat terselenggara. Guru yang memiliki kembali otoritasnya sebagai pembelajar di kelas dalam rangka melaksanakan kaedah pembelajaran inovatif secara fanatik, akan berdampak kepada siswa yang benar-benar mampu mengembangkan potensi dalam dirinya.
Kata fanatisme guru dalam rangka mengekbangkan pembelajaran di kelas, sangat diperlukan. Alasan yang sangat mendasar yang menjadikan hal ini harus dimiliki oleh guru, karena untuk menangkal pengaruh buruk lingkungan sekitar guru. Sebagian guru memang telah mampu berinovasi, sementara yang lainnya, masih sangat mengandalkan cara-cara lama dalam menyelenggarakan pembelajaran di kelas. Guru yang ideal akan selalu berbuat sesuai teori dan praktik seperti yang pernah mereka alami selama mengikuti perkuliaan, tanpa mau terpengaruh oleh lingkungan yang apatis dan pesimis. Kadangkala guru yang potensial dan berkeinginan maju, terpaksa harus rela menerima kenyatan bahwa “kuncup sebelum berkembang” karena telah di buli oleh sesama rekan guru di sekolah.
Guru-guru baru yang masih memiliki prinsp pedagogi keguruannya akan denagn senang hati menelenggarakn pembeljaran mengginaka kefia e
0 Comments